Dua puluh tiga tahun lalu, seorang ibu bernama Sri di Tulungagung menahan sakit demi melahirkan anak pertamanya. Tanpa suami di sisinya, lahirlah seorang putra yang diberi nama Yoga Prasetyo, anak yang setia begitu kurang lebih artinya. 
Yoga kecil tumbuh berkembang di bawah asuhan sang ibu. Ayahnya pergi begitu saja sejak dia berusia 3 bulan di kandungan.


Kondisi itu membuat perekonomian keluarganya berantakan dan memaksa Sri berkerja ekstra keras. Sri memilih menjadi TKI di Singapura. Dia menjadi pekerja rumah tangga di sana. 
Kepada kumparan, Yoga mengisahkan masa kecilnya hidup tanpa kehadiran orang tua. Di usia yang baru dua tahun, Yoga dititipkan  kepada pamannya. 
“Ketika ibu pergi saya akhirnya diasuh oleh paman dan bibi. Tapi mereka juga kerja. Jadi ketika saya usia 2 tahun sampai 6 tahun sebelum TK saya dibawa oleh paman ke tempat kerjanya terus saya diasuh oleh teman-teman paman,” cerita Yoga, (1/7).
Yoga, anak TKI yang berprestasi



Yoga, anak TKI yang berprestasi (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
Tak mendapatkan kasih sayang orang tua saat kecil, kadang membuat Yoga marah dan kecewa. Dia merasa berbeda dengan teman-temannya kala itu.
“Sebenarnya saya enggak pernah malu sih. Lebih ke merasa sedih dan kecewa terutama pada momen-momen tertentu. Seperti pas TK itu teman-teman itu banyak yang diantar orang tuanya dan pas mereka balik ke rumah ada orang tuanya. Sementara paman dan bibi itu bekerja ya. Jadi ketika pulang itu pas mengucap salam enggak ada yang jawab gitu,” Yoga berkisah. 
Sementara itu, pada saat wisuda, dari TK hingga SMA tak sekali pun ibu Yoga bisa menghadirinya. Meski sedih, tetapi paman dan bibinya terus memberi pemahaman kalau ibunya pergi untuk banting tulang membiayainya.


Yoga dan ibunya

Bila rindu datang mencekam, sang paman dan bibi memberinya selembar kertas dan pulpen untuk menampung luapan kangen Yoga kepada ibunya. Yoga terus menulis surat meski tak tahu surat itu benar dikirimkan ke ibunya atau tidak. 
“Waktu SD kelas 6 saya sudah punya HP kemudian komunikasi dengan ibu sudah mulai intens ya. Hampir satu minggu satu kali telepon dengan ibu. Dan ketika telepon, ibu selalu ngasih pemahaman tentang pekerjaan yang dilakukan di sana apa. Kami telepon sambil ibu memasak di sana,” papar Yoga.

Cara ibunya itu nyatanya ampuh membuat Yoga berdamai dengan keadaan. Dia tahu bahwa ibunya memang kerja keras. Dia bertekad akan memenuhi hidupnya dengan prestasi sebagai wujud dari balas budi. 
Tumbuh dengan prestasi
Yoga memang dilahirkan di pelosok. Tetapi, siapa sangka sosok berkulit sawo matang itu hidup dengan banyak prestasi di tinggkat sekolah bahkan hingga dunia.
Ragam prestasi mulai direngkuh Yoga semasa dia masuk SMA. Pada kelas satu, dia mulai rajin mengikuti perlombaan Bahasa Inggris. Namun, kemenangan belum kunjung datang padanya.
“Sampai akhirnya di penghujung semester pertama kelas 1 atau kelas X saya berhasil mendapatkan trofi bupati dalam perlombaan Bahasa Inggris.  Memenangkan perlombaan itu menurut saya adalah momen yang besar bagi saya karena itu membuat saya berpikir wah kalau kamu berusaha kamu bisa mendapatkan itu,” tutur Yoga. 
Piala Yoga

Melihat bakat dan minat Yoga, salah seorang gurunya menyarankan untuk masuk Sastra Inggris UI. Namun Yoga tak pernah berpikir untuk kuliah mengingat kondisi ekonominya keluarganya yang pas-pasan. Hingga pada satu kesempatan, ucapan sang guru mengubah pola pikirnya. 
“Tapi ketika guru saya bicara seperti itu, seperti mengibarkan semangat dalam diri saya. Jadi akhirnya saya mencari-cari informasi tentang UI, termasuk biaya hidupnya termasuk kualitasnya, fasilitasnya. Kemudian saya memutuskan, oke saya akan berusaha masuk UI,” sebut Yoga. 
Naik ke kelas dua, prestasi Yoga terus melejit. Dia juara olimpiade Bahasa Inggris se-eks Karesidenan Kediri, menjadi finalis olimpiade Bahasa Inggris tingkat nasional, dan juara 1 paralel di program IPS.
Sertifikat Yoga

Sertifikat Yoga (Foto: Dokumentasi Yoga)
Setidaknya bekal-bekal itu kemudian mengantarkannya mantap untuk mendaftar di UI. Namun, langkahnya tak begitu saja mulus. Keraguan mulai menghampiri guru-guru yang sebelumnya menyemangati Yoga. Mereka ragu Yoga akan diterima di UI, karena belum ada satu pun alumni di sekolahnya yang mampu menembus UI. 
Selain itu, para guru berpikir bila Yoga tak diterima di UI nantinya, itu akan membuat dirinya semakin down. Oleh sebab itu, mereka menyarankan pria kelahiran Februari itu untuk mendaftar di universitas lain yang peluangnya lebih terbuka lebar. 
Yoga, anak TKI yang berprestasi

Yoga, anak TKI yang berprestasi (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
Tapi, padangan guru itu tak menyurutkan semangat Yoga. Dia tetap mantap mendaftar Sastra Inggris UI.
“Akhirnya saya diterima di UI melalui jalur prestasi atau SNMPTN undangan. Dan itu mengubah pemikiran mereka tentang anak desa. Tentang anak desa yang sekolah di sebuah sekolah yang alumninya tidak pernah ada yang masuk UI,” ungkap Yoga
Yoga, anak TKI yang berprestasi

Yoga, anak TKI yang berprestasi (Foto: Dokumentasi Yoga)
Sempat minder masuk UI
Yoga mengaku sempat minder saat harus bertemu dengan mahasiswa lain di UI. Dia hanyalah anak kampung yang berasal dari SMA yang biasa -biasa saja. Sementara, teman-temannya mayoritas berasal dari Jakarta dan SMA bonafide. Namun, semua itu berubah kala Yoga mendapat nilai tertinggi di mata kuliah pengantar sastra. 
“Selama kuliah saya selalu berusaha mendapatkan nilai bagus karena saya rasa itu adalah kunci untuk mendapatkan beasiswa. Untuk membantu meringankan beban orang tua saya gitu. Dan alhamdulillah ada beberapa beasiswa yang saya dapat misalnya dari Lotte Foundation dan beasiswa PPA atau peningkatan prestasi akademik,” kata Yoga.
 Yoga menerima beasiswa dari Lotte Fondation

 Yoga menerima beasiswa dari Lotte Fondation (Foto: Dokumentasi Yoga)
Memasuki semester 3, Yoga mendapat kesempatan untuk belajar ke Science Po Prancis. Namun, satu bulan jelang keberangkatan dia gagal berangkat karena kesempatan itu tidak menutup biaya pendidikan dan hidup. 
Yoga tak patah arah, dia terus bersemangat mengejar prestasi. Dia akhirnya diterima menjadi perwakilan UI ke Amerika Serikat. 
“Saya diterima di program tersebut dan mewakili UI untuk pertukaran pelajar di 3 universitas di Amerika. Di University of Michigan, Lehigh University, Thousand University. Di sana kami, saya dan beberapa teman-teman dari Indonesia belajar tentang demokrasi dan keberagaman agama,” jelas Yoga. 
Yoga saat pertukaran pelajar ke Amerika Serikat


Setelah satu bulan berada di AS Yoga kembali ke Indonesia. Dia tak lekas berpuas diri. Tahun 2016 dia diterima untuk belajar di National University of  Singapore (NUS). Di sana, dia belajar tentang migrasi pekerja dan diaspora. Baginya, berada di Singapura adalah prestasinya yang paling berkesan. 
“Yang pertama karena akhirnya dengan mendapatkan beasiswa ke Singapura, saya dapat bertemu dengan ibu lebih sering. Hampir setiap hari bertemu, bercengkerama dengan ibu. Selain itu juga di Singapura ini saya melihat realitas tentang pekerja migran, tentang penderitaan mereka, tentang prestasi mereka, dan sebagainya,” Yoga mengungkapkan.
Yoga pertukaran pelajar ke National University of Singapore

Yoga pertukaran pelajar ke National University of Singapore (Foto: Dokumentasi Yoga)
Yoga pun tergerak untuk membantu para TKI yang ada di Singapura. Dia dan beberapa temannya akhirnya mendirikan Voice of Singapore Invisible Hand. Lewat komunitas itu, Yoga memberikan pelatihan penulisan dan Bahasa Inggris pada para TKI. Bahasa Inggris yang mahir menurutnya adalah kunci mengurangi kesalahpahaman dengan majikan.