Rancangan Undang-undang atau RUU Minuman Beralkohol kembali menjadi sorotan publik usai Baleg DPR mengungkap rencana pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) yang diusulkan 21 orang dari fraksi PPP, PKS, dan Gerindra.
RUU Minol merupakan satu dari 37 UU yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 hasil evaluasi pada Rapat Paripurna DPR RI Kamis 16 Juli lalu.
Terdapat beberapa Pasal yang menjadi sorotan publik dalam beleid itu. Pasalnya RUU Minol mengatur sanksi pidana bagi para peminum atau orang yang mengonsumsi minuman beralkohol.
Sanksi itu berupa pidana penjara paling sedikit tiga bulan dan paling lama dua tahun atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp50 juta. Sanksi pidana atau denda tersebut tertuang di Pasal 20 Bab VI tentang Ketentuan Pidana RUU Minol.
Kemudian, Sanksi pidana dan denda bagi peminum bisa ditambah jika yang bersangkutan dinilai mengganggu ketertiban umum atau mengancam keamanan orang lain. Sanksi tambahan bisa berupa pidana maksimal lima tahun penjara hingga sanksi denda paling sedikit Rp100 juta.
Kendati demikian, larangan bagi masyarakat untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, menjual, serta mengonsumsi minol tidak berlaku untuk beberapa kepentingan. Kepentingan itu semisal untuk kepentingan adat; ritual keagamaan; wisatawan; dan farmasi.
Rancangan produk hukum itu bagi beberapa orang dikhawatirkan dapat menimbulkan fenomena dan potensi over kriminalisasi. Seperti Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu yang mulai mewaspadai potensi itu, sehingga ia turut berpendapat bahwa RUU Minol itu tak perlu dibahas DPR lebih lanjut.
"Pendekatan pelarangan bagi minuman beralkohol dapat memberi dampak negatif bagi peradilan pidana di Indonesia," kata Erasmus dalam rilis ICJR, Rabu (11/11) lalu.
Usai membaca draf RUU larangan minol yang terdapat di situs DPR, Erasmus melihat rancangan produk hukum itu menggunakan pendekatan larangan buta.
Selain itu, menurutnya pengaturan tentang penggunaan alkohol yang membahayakan itu sudah diatur dalam sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan. Ia mencontohkan Pasal 300 dan Pasal 492 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
|
Salah satu pengusul RUU Minol dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Illiza Sa'aduddin Djamal mengklaim RUU Minol akan melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman beralkohol. Ia juga berharap larangan itu dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya minol.
Illiza pun menyentil larangan minol merupakan bentuk amanah konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selain itu, Illiza melanjutkan, larangan minol juga merupakan amanah agama.
"RUU bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minol," kata Illiza kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/11).
Tak hanya fraksi pengusul, ormas Islam seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), PP Muhammadiyah hingga PA 212 turut mendukung agar RUU Minol dapat disahkan menjadi undang-undang oleh DPR.
Sekjen MUI Anwar Abbas mengatakan bahwa pandangan ajaran agama dan ilmu kesehatan, konsumsi minol tidak disarankan sebab tidak membawa manfaat kebaikan.
Anwar pun menilai minol sangat berbahaya bagi kesehatan dan sudah jelas dilarang dalam Alquran. Ia menilai Minol sendiri menjadi pintu masuk bagi penyalahgunaan narkoba dan penyakit HIV/AIDS. Karena itu, ia menilai Minol itu jauh lebih banyak buruknya ketimbang manfaat baiknya.
"Minuman keras itu tidak baik, baik menurut agama maupun menurut ilmu kesehatan. Oleh karena itu karena tugas pemerintah adalah melindungi rakyatnya," kata Anwar kepada CNNIndonesia.com, Kamis (12/11).
Front Pembela Islam (FPI) bahkan meminta agar hukuman cambuk turut diberlakukan sebagai instrumen hukum dalam RUU Minol yang tengah digodok DPR. Ketua Umum FPI Ahmad Sobri Lubis memandang ajaran Islam memiliki ketentuan hukum dalam Alquran dan Hadis yang melarang mengonsumsi minuman beralkohol.
"FPI meminta pemerintah memberlakukan hukum cambuk bagi pelanggar UU Larangan Minuman Beralkohol agar memberikan efek jera kepada pemakainya," ujar Sobri.
Tak hanya itu, Sobri juga menilai dampak pasca mengonsumsi minuman beralkohol dari peredaran miras menimbulkan banyak ekses negatif. Salah satunya adalah meningkatkan jumlah kriminalitas hingga meningkatkan jumlah kecelakaan lalu lintas.
(khr, mts, dhf, rzr/gil)
0Komentar